RASA SIMPATI DAN EMPATI

02.02 Edit This 0 Comments »
Di setiap perjalanan saya menuju kampus di berbagai kesempatan saya selalu menemukan suatu sosok yang membuat hati saya miris. Sosok yang sangat membuat saya bersedih dan selalu bertanya. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah seorang manusia yang bekerja dengan begitu gigih namun adapula sosok yang tak layak untuk dijadikan pekerja.
Ketika perjalanan saya terhenti karena lampu lalu lintas berwarna merah, saya melihat sekitar daerah rambu lalu lintas dan begitu miris hati saya melihat anak kecil, yang saya terka umurnya baru sekitar 1 tahun atau 2 tahun. Anak itu menyanyi dengan diiringi sebuah botol yang berisi pasir ditengah teriknya jalan raya dan polusi keramaian kendaraan. Saya perhatikan mukanya yang lusuh tapi dibalik itu semua tersimpan wajah yang lugu dan manis, membuat saya berfikir “kemanakah orang tua mereka yang membiarkan buah hati mereka harus mengalami panas terik matahari?”. “kenapa harus anak – anak seperti mereka yang bekerja apakah orang tua mereka sudah tidak sanggup untuk bekerja?”. Lalu pertanyaan itu terhenti saat seorang anak menyentuh tangan saya untuk meminta imbalan dari nyanyiannya itu, saya keluarkan suatu kertas yang bernilai untuknya. Begitu senangnya ia saat senyum saya lihat di bibirnya yang pucat dan kering. Rambu lalu lintas pun telah berganti hijau dan saya pun melaju kendaraan saya melanjutkan perjalanan.
Sebelum sampai di rambu lalu lintas itupun saya menemukan sosok yang sering saya jumpai ketika perjalanan saya menuju jalan raya. Di sebuah jalan kecil perumahan saya melihat sosok seorang pria tua dan anaknya yang masih kecil sekitar umur 6 tahunan, pria itu memanggul plastik berisikan krupuk yang jumlahnya masih begitu banyak. Dan yang membuat saya tersentak ternyata pria ituadalah seorang tunanetra ia tak bisa melihat karena itu ia mengajak anaknya yang normal untuk menemani dan mengarahkan perjalanan mereka. Sungguh tak tega hati ini melihatnya pria itu masih semangat mencari sebuah kerta atau koin untuk kehidupan mereka. Pertanyaan dalam diri saya muncul “kenapa krupuk itu masih begitu banyak?”. “apakah selama perjalanan mereka belum ada satupun yang terjual?” dari pertanyaan itu saya hanya bisa berdoa untuk mereka, saya berdoa kepada yang kuasa ‘yaa Allah berikan bapak dan anak itu rezeki hari ini ya Allah, sekedar untuk kebutuhan mereka hari ini saja atau Engkau melebihkan sedikit untuk kebutuhannya esok. Yaa Rabb buatlah dagangannya itu laku agar ia tak terlalu banyak memanggul krupuk itu,,amien’. Disaat itu saya hanya bisa berdoa dan tak bisa melakukan rasa empati saya terhadap mereka, karena saya berangkat ke kampus dengan membawa uang yang tak begitu banyak bahkan hanya cukup untuk saya membeli bensin.
Dihari berikutnya saya melihat mereka lagi namun saya masih tidak bisa ber empati kepada mereka. Maka dalam hati saya berjanji jika esok saya bertemu lagi akan saya beli krupuk dagangan bapak itu walau hanya satu setidaknya sekedar memberi harapan untuk mereka. Dan keesokan harinya saya siapkan sejumlah uang untuk membeli krupuk dari mereka, namun sayang mereka tak ada mungkin mereka tak lewat jalan ini lagi. Tersirat penyesalan dalam hati saya karena saya hanya bisa bersimpati kepada bapak dan anaknya itu. Namun saya berfikir semoga Allah menjabah doa saya untuk bapak dan anak itu karena hanya doa itu yang bisa saya beri untuk mereka.
Satu sosok lagi yang selalu saya temui jika saya pulang kuliah tak begitu sore. Di rambu lalu lintas daerah lebak bulus deket sekolah BM 400 dan MAN 4. Di bawah rambu itu terduduk seorang lelaki paruh baya dengan sebuah tape recorder dan seekor kera. Lelaki itu memegang rantai yang terhubung pada leher kera itu, kera yang sedang duduk di sebuah mainan kuda-kudaan kecil yang berayun – ayun karena lelaki itu menarik rantainya. Dibawah terik lelaki itu mencari sesuatu yang berharga untuknya, dan hampir setiap hari saya melihatnya. Lelaki itu menarik perhatian pemakai jalan dengan seekor kera yang berlagak seperti topeng monyet, terkadang ada yang memberinya. Saya memberinya jika saya mempunyai uang namun jika saya sendiri tak megang uang sama sekali saya hanya bisa mendoakan lelaki itu.

Akhirnya dari pengalaman perjalanan saya, saya berfikir bahwa begitu banyak sosok yang bisa membuat kita bersimpati tapi belum tentu membuat kita jadi berempati. Dan sosok itu mengajarkan kepada saya bahwa kehidupan itu adalah anugerah yang telah diberi – NYA kepada kita dan bagaimana cara kita menjalani kehidupan itu adalah sebuah pilihan. Sosok itupun membuat saya selalu bersyukur dengan apa yang saya dapat, meski saya sendiri pun sering merasa kekurangan namun sosok itu memberi gambaran kepada saya bahwa di sekeliling saya pun masih ada yang lebih kekurangan dari saya. Semua itu hanyalah pelajaran hidup yang saya dapat dari beberapa sosok dan di luar sana masih banyak sosok yang bisa dijadikan motivasi dan pembelajaran.
Buat saya hidup itu untuk dinikmati apapun yang kita dapat jadikan motivasi untuk hidup yang lebih baik lagi. Dan dari rasa simpati maupun empati yang kita miliki berbuatlah yang terbaik untuk diri sendiri dan orang sekitar kita yang lebih membutuhkan dari kita.

0 komentar: